Senin, 23 Maret 2015

Coopertive Learning: Collaborative Learning dan Active Learning

Kegiatan belajar mengajar dan prestasi belajar siswa sebagian besar ditentukan oleh peranan dan kompetensi guru. Guru yang kompeten akan lebih mampu menciptakan lingkungan belajar yang efektif dan akan lebih mampu mengelola kelasnya sehingga prestasi belajar siswa berada pada tingkat optimal (Usman, 2004). Nasution (2000) berpendapat bahwa guru yang bertanggung jawab untuk menyediakan lingkungan yang paling serasi agar terjadi proses belajar yang efektif. Pada hakikatnya siswa yang belajar, namun guru yang bertanggung jawab bahwa proses belajar itu terjadi dengan baik.

Belajar mengajar yang masih teacher centred, menyebabkan interaksi yang terjadi antara siswa dengan siswa dan siswa dengan guru masih belum maksimal. Saat guru menerangkan, siswa sering bertanya kepada teman sebangkunya secara berbisik-bisik apabila ada materi yang tidak dimengerti. Hal ini dikarenakan siswa merasa malu dan takut bertanya kepada guru.

Pada pembelajaran alur proses belajar tidak harus berasal dari guru menuju siswa. Siswa juga bisa saling mengajar dengan sesama siswa yang lainnya. Bahkan banyak penelitian menunjukkan bahwa pengajaran oleh rekan sebaya (peer teaching) ternyata lebih efektif dari pada pengajaran oleh guru (Lie, 2007). Sehubungan dengan kondisi tersebut, maka diperlukan suatu metode pembelajaran yang dapat memperbaikai proses belajar mengajar sehingga menghasilkan perubahan positif dan siswa lebih aktif dalam proses pembelajaran, serta tujuan pembelajaran dapat tercapai. Agar pembelajaran mengarah pada perubahan positif, siswa lebih aktif dan tujuan pembelajaran tercapai guru harus menyiapkan model yang cocok untuk menyampaikan materi tersebut. Seorang pendidik memandang bahwa model pembelajaran merupakan urutan kedua dalam proses pembelajaran, setelah penguasaan materi. Penguasaan materi dan model pembelajaran tidak dapat dipisahkan, karena materi tanpa model kurang menarik, membosankan, dan kehilangan daya pikat, sehingga dikhawatirkan peserta didik sulit dalam mencerna materi. Sedangkan model tanpa materi akan terasa hampa, kosong, dan kering ilmu. Keduanya saling menunjang, melengkapi, dan menyempurnakan, keduanya harus sama-sama dikuasai dan dipraktekkan, sehingga hasil pembelajaran mencapai tujuannya.

Sudjana (2005) menyampaikan bahwa metode atau model adalah suatu rencana penyajian materi secara menyeluruh yang berlangsung secara teratur dan logis serta disusun dalam kegiatan nyata agar tujuan yang telah direncanakan tercapai secara optimal, Uno (2009) menambahkan bahwa metode atau model merupakan suatu cara yang dapat dilakukan oleh guru dalam menyajikan informasi atau pengalaman baru dan menggali pengalaman peserta didik serta menampilkan unjuk kerja peserta didik.

Model pembelajaran mempunyai makna yang lebih luas daripada strategi, metode atau prosedur pembelajaran. Istilah model pembelajaran mempunyai 4 ciri khusus yang tidak dimiliki oleh strategi atau metode pembelajaran :

1. Rasional teoritis yang logis yang disusun oleh pendidik.

2. Tujuan pembelajaran yang akan dicapai

3. Langkah-langkah mengajar yang diperlukan agar model pembelajaran dapat dilaksanakan
    secara optimal.

4. Lingkungan belajar yang diperlukan agar tujuan pembelajaran dapat dicapai.

Metode kolaboratif didasarkan pada asumsi-asumsi mengenai proses belajar peserta didik sebagai berikut (Semiawan, 1992):

1. Belajar itu aktif dan konstruktif

Untuk mempelajari bahan pelajaran, peserta didik harus terlibat secara aktif dengan bahan itu. Peserta didik perlu mengintegrasikan bahan baru ini dengan pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya. Peserta didik membangun makna atau mencipta sesuatu yang baru yang terkait dengan bahan pelajaran.

2. Belajar itu bergantung konteks

Kegiatan pembelajaran menghadapkan peserta didik pada tugas atau masalah menantang yang terkait dengan konteks yang sudah dikenal peserta didik. Peserta didik terlibat langsung dalam penyelesaian tugas atau pemecahan masalah itu.

3. Peserta didik itu beraneka latar belakang

Para peserta didik mempunyai perbedaan dalam banyak hal, seperti latar belakang, gaya belajar, pengalaman, dan aspirasi. Perbedaan-perbedaan itu diakui dan diterima dalam kegiatan kerjasama, dan bahkan diperlukan untuk meningkatkan mutu pencapaian hasil bersama dalam proses belajar.

4. Belajar itu bersifat sosial

Proses belajar merupakan proses interaksi sosial yang di dalamnya peserta didik membangun makna yang diterima bersama.
Menurut Piaget dan Vigotsky, strategi pembelajaran kolaboratif didukung oleh adanya tiga teori, yaitu :

1. Teori Kognitif

Teori ini berkaitan dengan terjadinya pertukaran konsep antar anggota kelompok pada pembelajaran kolaboratif sehingga dalam suatu kelompok akan terjadi proses transformasi ilmu pengetahuan pada setiap anggota.

2. Teori Konstruktivisme Sosial

Pada teori ini terlihat adanya interaksi sosial antar anggota yang akan membantu perkembangan individu dan meningkatkan sikap saling menghormati pendapat semua anggota kelompok.

3. Teori Motivasi

Teori ini teraplikasi dalam struktur pembelajaran kolaboratif karena pembelajaran tersebut akan memberikan lingkungan yang kondusif bagi peserta didik untuk belajar, menambah keberanian anggota untuk memberi pendapat dan menciptakan situasi saling memerlukan pada seluruh anggota dalam kelompok.

Piaget dengan konsepnya “active learning” berpendapat bahwa para peserta didik belajar lebih baik jika mereka berpikir secara kelompok, menurut pikiran mereka, oleh sebab itu menjelaskan sebuah pekerjaan lebih baik menampilkan di depan kelas. Piaget juga berpendapat bila suatu kelompok aktif kelompok tersebut akan melibatkan yang lain untuk berpikir bersama, sehingga dalam belajar lebih menarik (Sutikno, 2004).

Gokhale mendefinisikan bahwa “collaborative learning” mengacu pada metode pengajaran di mana peserta didik dalam satu kelompok yang bervariasi tingkat kecakapannya bekerjasama dalam kelompok kecil yang mengarah pada tujuan bersama. Pengertian kolaborasi sendiri yaitu: Model Pembelajaran Kolaboratif dengan Tutor Sebaya:
1. Keohane berpendapat bahwa kolaborasi adalah bekerja bersama dengan yang lain, kerja sama, bekerja dalam bagian satu team, dan di dalamnya bercampur didalam satu kelompok menuju keberhasilan bersama.

2. Patel berpendapat bahwa kolaborasi adalah suatu proses saling ketergantungan fungsional dalam mencoba untuk keterampilan koordinasi, to coordinate skills, tools, and rewards.

John Myers menyatakan bahwa kolaborasi berasal dari bahasa Latin, mengandung makna proses kerja bersama (Sudarman, 2008; Santyasa, 2006). Dalam sejarahnya belajar kolaboratif berakar pada pengembangan konsep dari Inggris. Basisnya adalah dinamika eksplorasi guru-guru Inggris dalam membantu peserta didik melakukan studi literatur dengan mendorong peserta didik agar mengembangkan inisiatifnya sehingga dapat belajar mandiri. Belajar berkolaborasi memiliki tradisi dalam mempelajari perkembangan belajar peserta didik dalam melakukan kajian kepustakaan melalui pendekatan kualitatif.
Dari pengertian kolaborasi yang diungkapkan oleh berbagai ahli tersebut, dapat disimpulkan bahwa pengertian belajar kolaborasi adalah suatu strategi pembelajaran di mana para peserta didik dengan variasi yang bertingkat bekerjasama dalam kelompok kecil kearah satu tujuan. Dalam kelompok ini para peserta didik saling membantu antara satu dengan yang lain. Jadi situasi belajar kolaboratif ada unsur ketergantungan yang positif untuk mencapai kesuksesan.

Bentuk kerjasama dalam belajar ini adalah metode cooperative learning. Dalam metode cooperative learning, peserta didik diarahkan untuk bisa bekerja sama, mengembangkan diri, dan bertanggung jawab secara individu (Lie, 2002). Salah satu bentuk cooperative learning adalah pengajaran oleh rekan sebaya yang biasa disebut tutor sebaya (peer tutoring). Dasar pemikiran tutor sebaya ini adalah peserta didik yang pandai dapat memberikan bantuan kepada peserta didik yang kurang pandai (Semiawan, 1992; Pietersz dan Saragih, 2010).

Teknik pembelajaran tutor sebaya yang dapat diterapkan sebagai berikut:

1. Teknik Berpikir-Berpasangan-Berempat
Teknik belajar mengajar Berpikir-Berpasangan-Berempat dikembangkan oleh Frank Lyman (Think-Pair-Share) dan Spencer Kagan (Think-Pair-Square). Teknik ini melatih peserta didik untuk bekerja sendiri serta bekerja sama dengan orang lain (Lie, 2002). Teknik ini memberikan kesempatan pada peserta didik untuk dikenali dan menunjukkan partisipasi mereka kepada orang lain.

Dalam teknik ini, peserta didik dibagi dalam kelompok yang terdiri dari empat peserta didik. Saat mengerjakan tugas dari guru, peserta didik memikirkan dan mengerjakan tugas tersebut sendiri, setelah itu, peserta didik dipasangkan dengan rekan dalam kelompok dan berdiskusi dengan pasangannya. Setelah selesai berdiskusi, kedua pasangan bertemu kembali dalam kelompok berempat. Setelah kembali dalam kelompok berempat, peserta didik mempunyai kesempatan untuk membagikan hasil kerjanya kepada kelompok berempat.

2. Teknik Two Stay Two Stray
Teknik belajar mengajar Dua Tinggal Dua Tamu (Two Stay Two Stray) dikembangkan oleh Spencer Kagan (1992). Teknik ini memberikan kesempatan kepada kelompok untuk membagikan hasil dan informasi dengan kelompok lain (Lie, 2002).
Dalam teknik ini, peserta didik bekerja sama dalam kelompok berempat. Setelah selesai, dua orang dari masing-masing kelompok akan meninggalkan kelompoknya dan masing-masing bertamu ke dua kelompok yang lain.
Dua orang yang tinggal dalam kelompok bertugas membagikan hasil kerja dan informasi mereka ke tamu mereka. Setelah selesai, tamu mohon diri dan kembali ke kelompok mereka sendiri dan melaporkan temuan mereka dari kelompok lain.Pada akhirnya, kelompok mencocokkan dan membahas hasil-hasil kerja mereka.
Dalam pelaksanaannya, metode tutor sebaya dapat disempurnakan secara bertahap sesuai kebutuhan peserta didik dengan memanfaatkan strategi-strategi pada teknik pembelajaran Cooperative Learning, seperti Think Pair Share maupun Two Stay Two Stray.

Referensi
Lie, Anita, 2002. Cooperatif Learning, PT Gramedia: Jakarta
Lie, A., 2007, Cooperative Learning Mempraktikkan Cooperative Learning di Ruang-Ruang Kelas, Grasindo: Jakarta.
Nasution, S., 2000, Berbagai Pendekatan dalam Proses Belejar dan Mengajar, Bumi Aksara: Jakarta.
Pietersz, Ferry; Saragih, Horasdia, Pengaruh Penggunaan Pembelajaran Kooperatif Tipe Numbered Head Together Terhadap Pencapaian Matematika Siswa di SMP Negeri 1 Cisarua. Prosiding Seminar Nasional Fisika, 2010.
Semiawan, Conny, 1992, Pendidikan Keterampilan Proses, Grasindo: Jakarta
Sudjana, 2005, Metode dan Tehnik Pembelajaran Partisipatif. Falah Production: Bandung
Sutikno, Sobry, 2014, Menuju Pendidikan Bermutu, NTP Press

Usman, Uzer, 2004, Menjadi Guru Profesional, PT. Remaja Rosdakarya: Bandung.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar